Jumat, 30 November 2012

Paradigma Ilmu Sosiologi

Ragam Aliran Teori Sosiologi Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990).1 Sedangkan ilmuwan mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi (kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan kelima: 2003). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.2 Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution)3. Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini. Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.4 Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.5 Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini. Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini. Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz), Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni ‘perilaku individu yang tak terpikirkan’. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer. Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959) tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit. Kritik Multi-Paradigma Ritzer Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran. Selain itu, paradigma integratif sebagai ‘konsensus’ antar paradigma, atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi- patut diperdebatkan. Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Metateori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak lagi relevan.10 Jurgen Habermas; Empiris-analitis, Historis-hermeneutis, dan Emansipatorik Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Positivisme Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan (aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science, ilmu alam dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi obyektif. Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial.12 Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte. Karena itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis. Teori untuk teori –bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917) adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik, terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai. Humanisme Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba memahami tindakan sosial pada level makna –yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.14 Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada fenomena ‘spiritual’ atau ‘ideal’ manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger). Kritis Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk kritis. Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai berikut: 1.teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi atas dunia statis “di luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam, maka kritis percaya bahwa masyarakat akan terus mengalami perubahan. 2.teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan. 3.teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. 4.pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida). 5.teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme. 6.mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur manusia secara dialektis. 7.teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang dapat dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis juga menolak pragmatisme revolusioner. Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis. Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang dari teori kritis. Clough –juga Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya. Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis) kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi ”kesadaran palsu”. Interpretatif berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” atau ”sejati”. Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat memiliki ”kesadaran palsu” –yang mesti dilawan dan dihancurkan. Metodologi Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknik-teknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan kritis dengan kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. Walaupun begitu, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda –walau masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme dan kritik. Walaupun sama-sama menekuni makna, Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Berger, yang membidik makna dalam skala lebih luas, menggunakan studi sejarah sebagai bagian dari metodologinya. Posisi Teori Berger Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era 1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx). 

Jumat, 16 November 2012

George Simmel




Simmel merupakan seorang tokoh yang lahir di Berlin pada tahun 1858. George simmel merupakan seorang anak dari pedagang yahudi kaya yang masuk Kristen. Simmel tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri, Ayah simmel meninggal ketika ia masih kecil, dan hubungan dia dengan ibunya tidak terlalu memiliki kedekatan.
Simmel merupakan sosok intelektual yang cemerlang. Simmel menerima gelar doctor dari Universitas Berlin pada tahun 1881, dan mulai mengakar di sana pada tahun 1885 . Dia juga merupakan sosok pengajar yang cemerlang terkait pengetahuan dari berbagai hal, dan konsep mengajarnya. Ketika dia mengadakan perkuliahan yang menghadirinya tidak hanya mahasiswa, tetapi seringkali kaum elit intelektual berlin menghadirinya. Hal itu dikarenakan kemampuan intelektual yang dimiliki simmel membuat orang lain kagum.

George Simmel
Meskipun pengetahuannya luas, kecemerlangan mengajar dan mengadakan perkuliahan, serta mutu tulisannya yang baik, pengakuan professional terhadap simmel selama kehidupan profesionalnya itu sangatlah minim. Selama lima belas tahun dia tetap berposisi sebagai dosen privat, yakni dosen yang tidak dibayar yang gajinya berdasarkan pembayaran mahasiswa. Kemudian dia menerima gelar professor luar biasa, tetapi hanya merupakan kehormatan belaka tanpa kompensasi. Simmel akhirnya meninggalkan universitas berlin tahun 1914, untuk menerima posisi sebagai professor penuh pada universitas Strasbourg, namun malang kehidupan akademisnya segera terhenti Karena pecah perang pada saat itu.
Selama karir intelektualnya simmel mengemukakan berbagai teori.Simmel menjadi terkenal pada mulanya karena pemikirannya tentang bentuk-bentuk interaksi, selain itu simmel juga mengemukakan teorinya The Philosophy Of Money dan tragedi kebudayaan. Teori-teori dari George simmel tersebut akan saya bahas dan uraikan per poin, agar dapat saya jelaskan dengan lebih rinci.
1.   Teori Interaksi.
Simmel memandang bahwa interaksi itu memiliki peran yang penting dalam kehidupan. Simmel juga melihat bahwa salah satu tugas sosiologi adalah memahami interaksi antar individu. Salah satu teori yang dikemukakan oleh simmel dan masih terkait dengan interaksi adalah Teori Simmel mengenai masyarakat sebagai proses interaksiMenurut Pandangannya, masyarakat dapat terbentuk karena adanya interaksi, bukan adanya kelompok orang yang hanya diam. Menurut Simmel dalam interaksi tidak memementingkan berapa jumlah orang yang berinteraksi, yang penting adalah adanya interaksi. Jadi, melalui interaksi timbal balik, dimana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, maka masyarakat itu akan muncul.

2.   The Philosophy Of Money
Karya yang juga cukup terkenal juga dari simmel adalah The Philosophy Of Money (Teori filosofi Uang). Dalam Karyanya ini Simmel memusatkan perhatian pada kemunculan perekonomian uang dalam masyarakat modern yang terpisah dari individu dan mendominasi individu.
Menurut pandangan Simmel kultur dalam kehidupan masyarakat modern dan seluruh komponen-komponen nya yang beraneka ragam dan semakin kompleks itu (termasuk ekonomi uang) akan berkembang, dan begitu sudah berkembang maka arti penting atau peran individu akan mulai menurun. Misalnya, ketika tekhnologi industry yang menyertai perkembangan ekonomi berkembang kearah yang lebih modern  dan semakin canggih, maka Skill tenaga kerja secara individual makin kurang penting, karena sudah mulai tergantikan dan tercover oleh mesin.
pekerja pabrik dan mesin pabrik
  Secara Lebih umum lagi, Simmel juga berpendapat bahwa dalam kehidupan modern perkembangan kultur yang lebih luas menyebabkan peran individu akan semakin menurun.
Dalam karyanya The Philosophy Of Money, Simmel menyatakan bahwa uang dapat menyebabkan perubahan pola interaksi. Misalnya, pada zaman dahulu, ketika belum terdapat uang maka orang akan melakukan kegiatan ekonomi (jual beli) dengan cara barter, tetapi setelah kemunculan uang sebagai alat tukar, masyarakat merasa lebih mudah melakukan kegiatan ekonomi dan transaksi perdagangan, karena membawa uang jauh lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan cara lama yaitu barter yang dianggap lebih rumit dan standarnya yang tidak jelas.
Transaksi menggunakan uang
        Pertukaran ekonomi menurut Simmel juga merupakan suatu interaksi sosial. Ketika transaksi moneter menggantikan barter, maka terjadi perubahan penting dalam bentuk interaksi atau pelaku sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dalam pengamatan Simmel, manusia modern telah menjadikan uang sebagai tujuan utama, padahal sebetulnya uang hanya merupakan sarana. Bersamaan dengan itu, muncullah dampak-dampak negative terhadap individu, seperti sinisme. Dampak ekonomi lainnya adalah reduksi nilai-nilai dalam kehidupan manusia, misalnya : banyak manusia yang menilai sesuatu banyak berdasarkan uang, dan menganggap uang adalah segala-galanya. Selain menunjukkan dampak negative dari fenomena uang, Simmel juga menegaskan semua yang terkait dengan uang termasuk dampak negative nya juga tergantung pada manusia itu sendiri. Akan tetapi dia juga mengatakan bahwa uang hanyalah sarana, bukan tujuan utama.
        Terkait dengan interaksi, Uang juga memungkinkan orang untuk mengatasi dan memenuhi kebutuhannya dalam transaksi ekonomi. Dan pada akhirnya hal tersebut juga akan memicu seseorang untuk terlibat interaksi dengan orang lain  dalam usahanya memenuhi kebutuhannya yang dilakukan dengan cara bertransaksi dengan menggunakan uang.
        Uang juga dapat mempengaruhi dan mempertinggi kebebasan individu,  terlebih bagi mereka yang mempunyai cukup uang. Gaya hidup individu mulai  mengalami pergeseran, tidak lagi terlalu banyak ditentukan oleh kebiasan dan tradisi , akan tetapi Gaya hidup individu lebih ditentukan karena sumber-sumber keuangan yang mereka miliki untuk membeli perlengkapan-perlengkapan yang perlu untuk gaya hidup yang sudah mereka tentukan.          
Jadi Secara garis besar, dalam karyanya Philosophy Of Money Simmel mencoba menganalisis mengenai pengaruh adanya uang sebagai alat tukar terhadap perubahan gaya hidup manusia.
3.   Tragedy kebudayaan
Sebab utama meningkatnya kesenjangan ini adalah meningkatnya pembagian kerja di masyarakat modern(Oakes, 1928:19). Meningkatnya spesialisasi dalam kehidupan masyarakat mengarah pada perbaikan kemampuan untuk menciptakan beragam komponen dunia budaya. Namun, pada saat yang sama, individu yang terspesialisasi kehilangan pemahaman tentang kebudayaan total dan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya.
Ketika kebudayaan obyektif tumbuh dan mulai mengalami perubahan, kebudayaan individu sirna. Misalnya : Tumbuhnya teknologi dan permesinan, seringkali tidak disertai dengan kecakapan kemampuan pekerja individu dan ketrampilan yang dibutuhkan, justru seringkali terjadi penurunan atau ketidaksesuaian skill dari para pekerja. Contoh lain yaitu bahasa sebagai keseluruhan totalitas semakin berkembang begitu pesat, namun kemampuan linguistic individu tertentu justru mengalami kemerosotan.
Meskipun pada akhirnya terjadi ekspansi besar-besaran ranah intelektual, pada kenyataannya semakin sedikit individu yang tampaknya layak mendapatkan label ’intelektual’ termasuk dalam kaitannya penguasaan suatu skill tertentu
Ekspansi besar-besaran kebudayaan obyektif membawa efekcukup besar pada pola dan irama kehidupan. Secara umum, ketimpangan yang menjadi ciri khas dari epos awal ini meningkat dan di dalam masyarakat modern digantikan oleh pola kehidupan yang jauh lebih konsisten. Misalnya : terjadinya peningkatan kebudayaan, yaitu begitu tingginya peningkatan kebudayaan modern. Contoh lain, misalnya : sumber informasi yang dulu masih sulit didapat dan dijangkau oleh masyarakat, sekarang menjadi lebih mudah dan tersedia sepanjang waktu karena tersedianya internet,buku dan majalah.
Birgitta Nedelmann menjelaskan Tragedy kebudayaan dalam konteks yang lebih luas, dia menawarkan tafsir menarik tentang tragedy kebudayaan dalam konteks yang disebutnya sebagai tiga masalah kebudayaan Simmel :
a.     Masalah pertama adalah nestapa budaya. Ini adalah akibat dari konflik antara individu sebagai pencipta kebudayaan dengan bentuk-bentuk budaya yang  bersifat tetap dan tanpa batasan waktu yang mereka hadapi. Kalau individu harus memenuhi kebutuhannya dengan menciptakan bentuk-bentuk budaya, pemenuhan tersebut semakin tidak mungkin terjadi, paling tidak sebagian karena system budaya… tertinggal di belakang perkembangan kreativitas manusia’ ( Nedelmann, 1991:175). Respon individu terhadap dilemma ini adalah dengan mawas diri menyepi. Hal ini mengarah pada individualisasi kreativitas budaya. Namun nestapa terjadi karena kreativitas bagi seseorang tidak pernah memuaskan sebagaimana penciptaan bentuk budaya yang lebih besar.
b.    Masalah kedua adalah kerancuan budaya. Dalam hal ini Simmel membedakan gaya denganseni. Gaya terkait dengan generalitas dengan ‘ elemen-elemen objek artistic yang sama’. Gaya melibatkan objek yang diciptakan oleh pengrajin, misalnya kursi atau gelas. Sebaliknya seni terkait dengan singularitas, dengan ‘ keunikan dan individualitas’. Namun manusia modern’ menciptakan ketidakteratuan di ranah estetik’ dengan melihat ‘ objek kerajinan seolah-olah sebagai karya seni, namun ketika keduanya dicampurkan kemungkinan bagi terciptanya keseimbangan individu pada akhirnya berubah menjadi kondisi ideal yang tidak dapat direalisasikan.
c.     Masalah ketiga adalah masalah tragedy kebudayaan. Nedelmann menawarkan tafsir menarik terhadap gagasan ini. Ia menujukkan ini adalah satu tragedy, ketimbang sekedar kesedihan karena kehancuran social adalah akibat niscaya dari logika imanen
Nah pemaparan diatas adalah materi tentang beberapa teori yang dikemukakan George Simmel. Semoga postingan ini dapat membawa manfaat bagi kita semua. 

Kamis, 15 November 2012

Teori Perubahan Sosial Karl Marx dan Max Weber


Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.
Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan oleh:
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.
Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang
meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.
Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara lain:
1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI.
2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut.
Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol.
Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan yang signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan karena perbedaan system yang berlaku.
Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun dalam konteks penggunaan praktis!
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.
Tindakan, Kelas, dan Status Sosial
Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.
Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status keluarganya.
Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan kelas lebih rendah atau lebih tinggi

Simmel dan Konsep Sosiologinya
Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri.
Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel
Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok.
Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia.
Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi.
Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal.Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu
antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980), dan untuk Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teori berupaya lebih menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang diwarnai materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.
Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam
kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tidak terlibat dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru beberapa kali menyebutkan ‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209), suatu sikap yang ternyata tidak secara konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori dan tokoh yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori Antropologi’ sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain.
Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas tergambar dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [‘Hobbes yang pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan akibat Perang Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga tetap bersatu. Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain. Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)’, hal. 4-5]. Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang memiliki lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social
Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung—sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apakah apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986; Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986). Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx. Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting.
Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya—bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi pada pemikiranpemikiran
evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran pemikiran tersebut
Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bahwa pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi, polemik dan etik dalam kajian antropologi.
Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis dapat diterjemahkan sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri disebut paradigma baru antropologi sosial.
Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropologi Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim kita temukan dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987; Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme.
Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dalam pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedua arus pemikiran teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi metodologi yang seharusnya ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi agar terhindar dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting bagi para pengkaji antropologi.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak  ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.
REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentangEstablishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam  arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi“nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu
Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.
Persetujuan yang benar-benar tulusdengan apa yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ ( KUNCI8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’” ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan “bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas  lewat media massa”.
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran.  Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini.Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.